Selasa, 01 Mei 2012

Katekisasi: Pergumulan dan Tantangan Gereja Masa Kini

June 19, 2009 at 8:30 am (Artikel)
Oleh: Ev. Otniol H. Seba
Dewasa ini tidak banyak jemaat Kristen yang mengenal dan mengetahui dengan pasti apa itu katekisasi? Setidaknya ketidaktahuan dan kurangnya pengenalan jemaat terhadap katekisasi, nampak dari beberapa jawaban yang mereka ungkapkan, misalnya: ”katekisasi adalah syarat untuk memperoleh surat dibaptis atau disidi”; ”syarat sebelum menikah sudah harus katekisasi”; katekisasi adalah pengajaran tradisi yang diharuskan di dalam gereja (maksudnya gereja-gereja Injili)(01), lebih dari itu ada jemaat (bahkan majelis gereja) yang tidak mengerti apa itu katekisasi.
Hal ini secara tidak langsung berdampak pada 2 segi, yaitu: pertama, kualitas rohani dari jemaat yang bersangkutan. Maksudnya bahwa katekisasi tidak lebih hanya menjadi sarana untuk mendapatkan ”legalisasi” (atau surat-surat yang berkaitan dengan kepentingan jemaat) dari gereja. Masalah kerohanian tidak diutamakan. Apalagi dengan waktu yang singkat, hadir atau tidak hadir, jemaat tetap disidi atau dibaptis. Untuk jangka yang panjang sudah dapat dipastikan bahwa jemaat-jemaat akan mudah diombang-ambingkan oleh berbagai pengajaran yang menyesatkan. Kedua, kualitas pelayanan itu sendiri. Maksudnya jemaat yang telah mengikuti katekisasi tidak melayani. Hal ini disebabkan oleh konsep bahwa katekisasi adalah pra-syarat untuk menikah dan hanya sekadar untuk mendapatkan surat baptis atau sidi yang dapat digunakan untuk kepentingannya. Akibatnya adalah: (1) kesulitan mencari generasi untuk melayani di gereja; (2) kemungkinan bahwa gereja dilayani oleh orang-orang yang ”tidak siap secara rohani.” Jika ini terjadi, maka lambat laun gereja akan mengalami ”pengeroposan” baik secara rohani maupun di dalam pelayanannya.
Oleh karena itu gereja perlu memberikan pemahaman yang jelas kepada jemaat tentang mengapa katekisasi itu perlu dilakukan? Juga memberikan dorongan kepada jemaat untuk mengikuti kelas katekisasi.
MEMAHAMI PENTINGNYA KATEKISASI
Seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan bergereja mengalami tantangan yang besar. Tantangan itu datang dari dalam dan dari luar gereja. Salah satu tantangan dari dalam gereja adalah kurangnya minat dari jemaat terhadap pengajaran Alkitab (doktrin-doktrin Alkitabiah yang dapat dipertanggungjawabkan). Jemaat lebih menyukai ajaran-ajaran yang bersifat aplikatif dan berbau ”supranatural.” Ini menyebabkan jemaat tidak punya kepekaan terhadap berbagai ajaran yang kelihatannya ”baik”, ”dapat diterima dengan akal (logis)”, dan ”menyentuh kehidupan jemaat”, padahal yang sebetulnya menuju kepada kesesatan. Ajaran-ajaran tersebut tidak dapat dibedakan dengan jelas oleh jemaat-jemaat kristen masa kini.
Pada sisi yang lain, gereja diserang oleh ajaran-ajaran yang berasal dari kaum intelek, yang mengandalkan rasio dan pengetahuan modern sebagai justifikasi terhadap kebenaran Alkitab. Kritik terhadap kekristenan terus-menerus dilancarkan. Kebenaran Alkitabiah berusaha diganti dengan kebenaran manusia. Injil Kristus diganti dengan ajaran-ajaran manusia yang mengandalkan intelektual semata-mata. Jika gereja tidak memberikan fondasi yang kuat kepada jemaat tentang kebenaran Alkitabiah yang disertai dengan eksegese dan eksposisi yang akurat terhadap teks Alkitab, maka dapat dipastikan bahwa jemaat yang dihasilkan adalah jemaat yang ”rapuh” dan ”keropos” imannya.
Katekisasi(02), adalah salah satu wadah, di mana gereja mempersiapkan jemaat untuk memiliki pemahaman yang benar tentang kebenaran Alkitab. Klauber mengutip John Leight sejarahwan reformasi menuliskan: Katekisasi tidak hanya semata-mata mempersiapkan orang muda untuk pembaptisan, tapi kepada semua orang percaya, untuk mengajar mereka dasar-dasar iman Kristen.(03) Di dalam ketekisasi ini, jemaat diperlengkapi dengan doktrin-doktrin dasar di dalam kekristenan yang dipercayai dan diimani oleh gereja tersebut. Selain itu katekisasi merupakan wadah untuk mencari generasi-generasi baru yang dapat diarahkan dan dipersiapkan untuk melayani Tuhan di dalam pelayanan gerejawi.
Pentingnya pengajaran ketekisasi oleh gereja kepada jemaat lebih disebabkan karena: pertama, gereja harus melaksanakan Amanat agung Yesus Kristus untuk menjadikan bangsa-bangsa murid-Nya (bnd. Mat. 28:19) proses pengajaran; kedua, bahwa gereja harus mengajarkan kebenaran-Nya kepada jemaat, sama seperti Yesus Kristus yang mengajarkan firman dan kebenaran-Nya (bnd. Yoh. 8:31-32); ketiga, gereja harus menuntun jemaat kepada iman dan pengenalan Allah yang benar dan Yesus Kristus (bnd. Yoh. 17:3 ; Rm. 10:17).
Namun sayangnya gereja tidak serius untuk memikirkan katekisasi ini. Para rohaniwan hanya sekadar menghimbau jemaat untuk ikut katekisasi, tanpa mendorongnya dengan serius dan sungguh-sungguh. Mereka yang aktif melayani umumnya hanya sekadar tahu pengajaran katekisasi ini, tanpa mendalami isinya (doktrin-doktrin Alkitabiah yang diajarkan dalam ketekisasi). Ini menyedihkan sekali!
MEMAHAMI KATEKISASI DI DALAM ALKITAB
Alkitab, baik PL dan PB memberikan latar belakang mengenai pengajaran katekisasi. Baik itu di dalam tradisi Yahudi yang ketat sebagai-mana yang tercatat di dalam PL, maupun di dalam kekristenan mula-mula yang berakar kuat di dalam PB. Hal ini perlu dilihat secara komprehensif di dalam Alkitab, mengingat kekristenan hari ini sangat berakar kuat di dalam kedua tradisi tersebut.
A. Dalam Perjanjian Lama (PL)
Katekisasi berakar kuat dalam sejarah dan tradisi dari bangsa Israel. Hal ini dapat kita lihat dalam beberapa hal berikut:
1. Orang tua berkewajiban mengajar anak-anaknya “tentang perbuatan-perbuatan Allah yang besar.” (Ul. 6:20-25; Mzm. 78:1-7, dsb).
2. Sekitar abad-abad pertama telah ada sekolah bagi anak-anak Yahudi, mereka yang berumur 5-7 tahun telah mendapat pengajaran dari guru-guru torah. Maksud dan tujuan pengajaran itu adalah supaya anak-anak mendapat pengajaran tentang torah.
3. Pengetahuan ini terdiri dari pembacaan dan pelafalan torah secara harafiah. Ada 2 tingkatkan yang dapat kita temukan dalam pengajaran ini. a) tingkat dasar yang dikenal dengan nama = beth-ha-sefer dan b) tingkat lanjutan yang dikenal dengan beth-ha-midrasy. Pengajaran semacam ini terus berlangsung dalam abad-abad pertama di kalangan umat Yahudi.
4. Bahan-bahan pengajaran yang dilakukan oleh guru-guru Yahudi di dalam sinagoge-sinagoge dibagi di dalam beberapa bagian: pertama, pengakuan iman (syema). Hal ini tercatat di dalam Ul. 6:4-9, 11, 13-21 dan Bil. 15:37-41; kedua, doa utama (= syemone Esre), ini dilakukan oleh tiap orang Yahudi, tiga kali sehari. Doa ini adalah suatu puji-pujian kepada Allah; ketiga, pembacaan torah; keempat, pengajaran tentang arti dari hari raya-hari raya Yahudi. (04)
B. Dalam Perjanjian Baru (PB)
Jemaat purba (orang-orang Kristen zaman purba) mengadopsi jenis pengajaran ini untuk menunjang pelayanan mereka. Mereka menggunakan beberapa istilah untuk menunjukkan hal ini.
1. Katekhein = memberitakan, memberitahukan, mengajar dan memberi pengajaran (Luk. 1:24; Kis. 21:21, 24; Rm.2:17-18)
2. Didaskhein = menyampaikan pengetahuan dengan maksud su-paya orang yang diajar itu bertindak terampil (Mat. 4:23; 26:25; 1Tim. 4:11, dst).
3. Ginoskein = mengenal atau belajar mengenal. Ini bersifat intelek-tualistis (Rm. 1:21, 28; Gal. 4:8-9, dst).
4. Manthanein = belajar, maksudnya mengindikasikan suatu proses rohani, di mana seseorang mencapai sesuatu bagi dirinya untuk perkembangan kepribadiannya (Ibr. 5:7-8; Ef. 4:20-23, dst).
5. Paideuein = memberi bimbingan kepada anak-anak, supaya mereka dalam dunia orang dewasa dapat menempati tempat mereka (1Tim. 3:16-17; Tit. 2:17, dst).
6. Katekisasi di dalam Alkitab PL dan PB memberikan penjelasan secara garis besar, melalui tradisi Israel dan arti kata-kata yang berhubungan dengan ketekisasi jemaat. Ini menunjukkan bahwa memang tujuan akhir katekese itu sendiri berhubungan dengan kerohanian jemaat itu sendiri dan pelayanan gereja yang nantinya akan dilakukan oleh jemaat tersebut.(05)
MEMAHAMI SECARA SINGKAT KATEKISASI DI DALAM GEREJA
Katekisasi merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari gereja. Pelayanan ini menjadi penting oleh karena mengajarkan kebenaran fundamental tentang iman Kristen. Abineno mengungkapkan bahwa: katekese bukanlah hanya pelayanan sampingan saja dari gereja: sama seperti pelayanan-pelayanan gerejawi yang lain, demikian pula katekese adalah pelayanan pokok adalah fungsi dasariah dari gereja.(06)
Di dalam perkembangan sejarahnya, katekisasi mengalami perkembangan bersamaan dengan gereja. Di mana gereja berdiri, pelayanan katekisasi juga dilakukan. Ada dugaan dari beberapa pakar sejarah bahwa ketekisasi menjadi permulaan dari berdirinya gereja. Hal ini menunjuk kepada peristiwa di dalam Kis. 2:42a: “mereka bertekun dalam pengajaran para rasul.” Terlepas dari pernyataan ini diterima atau tidak, namun satu hal yang pasti bahwa katekisasi dan gereja tumbuh dan berkembang hampir bersamaan.
Di dalam gereja mula-mula, pelayanan katekisasi ini telah dilakukan. Hal ini nampak terlihat di dalam tulisan Klemens (sekitar 140 AD). Dalam suratnya kepada jemaat di Korintus, Klemens menyebutkan bahwa katekese sebagai permintaan jemaat. Pengajaran ini bertujuan untuk mengajak orang supaya mengenal Kristus dan menyucikan mereka dari segala berhala. Tertullianus (sekitar 200 AD) menegaskan bahwa sebelum orang-orang mengalami baptisan, mereka terlebih dahulu harus menerima pengajaran. Constitutiones Apostolocae sudah menetapkan pendidikan selama tiga tahun untuk setiap orang yang ingin dibaptis. Augustinus, seorang bapa gereja barat telah menerima pengajaran sebelum baptisan selama dua tahun pada usia 31 tahun, sebelum ia diterima menjadi anggota jemaat dan dibaptis tahun 387 AD.(07) Pelayanan katekisasi gerejawi semacam ini terus bertahan selama 500 tahun pertama berdirinya gereja.
Memasuki abad-abad pertengahan, katekisasi mengalami kemerosotan tajam. Hal ini lebih dikarenakan masuknya berbagai ajaran di dalam gereja yang menekankan ritualitas dari pada pengajaran. Salah satu contohnya adalah ajaran sakramen pengampunan dosa, yang secara serius ditekankan oleh gereja. Di sini yang ditekankan adalah ritualnya. Sementara itu di dalam suatu konsili Forli yang dilakukan pada tahun 791, menganggap kredo dan Doa Bapa kami sebagai formula pemberi berkat. Jika ada orang yang mampu mengucapkannya, maka dianggap sudah cukup. Hal ini secara tidak langsung menggeser kedudukan pengajaran di dalam gereja Tuhan. Pada masa ini katekisasi hanya berlaku di dalam keluarga dan melalui khotbah-khotbah yang terbatas. Pada masa ini bukan saja kemerosotan pengajaran yang terjadi, tetapi jemaat-jemaat tidak mengerti apa yang mereka ucapkan di dalam ritual-ritual gereja yang serba membingungkan.(08)
Mengakhiri abad pertengahan, muncul gerakan-gerakan reformasi yang menurut Gereja Katolik-Roma, sebagai gerakan kemurtadan, yang memperjuangkan kembali pengajaran di dalam gereja. Mereka tidak mau tertipu oleh gereja yang hanya melaksanakan ritual semata-mata. Mereka berusaha untuk menyusun buku-buku yang dapat menjadi pedoman untuk pengajaran bagi jemaat. Katakan saja John Wycliffe dan John Huss. John Wycliffe hidup di Inggris sekitar tahun 1384 menulis bukunya Pauper Rusticus dalam bahasa Inggris. Isinya mengenai iman, titah, dan doa, dengan penjelasan panjang lebar tentang kehidupan yang berdasarkan iman dan pergumulan iman. Selanjutnya John Huss sekitar tahun 1415, menulis buku penjelasan mengenai Apostolik, Doa Bapa Kami dan Dasa Titah, agar para muridnya tahu bagaimana mengajarkan iman Kristiani kepada rakyat.
Pembaruan yang dilakukan pada masa reformasi telah membawa perubahan yang besar terhadap perkembangan katekisasi. Katekisasi tidak hanya bersifat hafalan, seperti dasa titah, doa dan sakramen sebagaimana yang dilakukan oleh ”gereja lama” (= zaman Katolik-Roma), melainkan juga ringkasan ajaran Kitab Suci yang sangat baik dan berguna yang kemudian diajarkan kepada jemaat-jemaat Kristen. Masa Reformasi telah melahirkan berbagai macam katekismus pengajaran yang berakar kuat kepada firman Tuhan. Martin Luther pada tahun 1529 menuliskan Katekismus Besar dan Katekismus Kecil sebagai panduan untuk pengajaran kepada para pengikutnya. Di dalam buku ini, ia menguraikan prinsip-prinsip penting ajaran reformasi yang berakar kuat kepada kebenaran Alkitab: Sola Scriptura, Sola Fide dan Sola Gratia.(09) Johanes Calvin, merupakan tokoh reformasi yang sangat disegani dan telah mewariskan pengajaran yang dalam sekali tentang Alkitab. Oleh pengikutnya, namanya menjadi rujukan dari seluruh ajarannya: ”Calvinis.” Pada tahun 1536, ia menuliskan suatu buku ”De Institutionae Christi” yang merupakan bahan pelajaran yang digunakan di dalam katekisasi. Calvin kemudian mengarang sebuah ”Katekismus” pada tahun 1541 yang lazim dikenal sebagai ”Katekismus Geneva”. Melanchthon juga menuliskan sebuah katekismus yang sesuai dengan apa yang Martin Luther tuliskan.
Pada tahun berikutnya muncullah beberapa katekismus yang merupakan bahan pengajaran bagi jemaat-jemaat, di antaranya: Katekismus Heidelberg dan Katekismus Westminster. Katekismus Heidelberg ditulis oleh Kaspar Olevianus dan Zakharias Ursinus pada tahun 1562. Katekismus ini sangat terkenal dan menjadi bahan pelajaran yang disenangi dan diterima oleh jemaat-jemaat pada waktu itu. Kedua katekismus merupakan kristalisasi dari pengajaran iman kristen di dalam tradisi Calvinisme.
Memasuki masa abad ke-18, pengajaran katekisasi mengalami kemorosotan tajam. Hal ini karena ada pengaruh filsafat rasionalisme sekuler yang mulai merasuki gereja. Filsafat ini mempertentangkan antara iman dari akal dan memisahkan antara iman dan akal. Argumentasi-argumentasi yang dibangun dan dilontarkan kepada pihak gereja justru melemahkan kaum rohaniawan yang ada. Pikiran yang skeptis terhadap pengajaran Alkitab (cenderung menolak kebenaran) membawa dampak yang cukup besar bagi kerohanian jemaat Kristen, di mana mereka mulai mengingkari akan kebenaran sebagaimana yang diyakini semula. Rasionalisme semacam ini pada akhirnya mengantarkan jemaat yang ”tereliminasi” dan ”terkontaminasi” karena pengaruhnya ke jurang humanisme yang akhirnya bermuara kepada sikap ateis (lebih tepatnya disebut sebagai Ateis praktis hidup seakan-akan Allah tidak ada).
Pengaruh dari gerakan ini sangat terasa hingga hari ini. Di satu sisi gereja kurang menekankan pelayanan pengajaran katekisasi ini bagi jemaat. Sementara di sisi yang lain, ada upaya yang telah dilakukan oleh orang-orang dan kelompok tertentu untuk menggantikan kebenaran-kebenaran Alkitab dengan dongeng-dongeng yang diciptakan, baik melalui media cetak, seperti buku-buku ataupun melalui film-film. Salah satu contohnya adalah (yang sedang hangat dibicarakan) “The Da Vinci Code.” Hal ini menjadi ”PR” bagi gereja untuk diselesaikan.
MEMAHAMI PERGUMULAN DAN TANTANGAN KATEKISASI MASA KINI
Di dalam era postmodern ini, umumnya masyarakat, termasuk juga jemaat kristen tidak lagi menyukai hal-hal yang bersifat pengajaran doktrinal/alkitabiah. Mereka lebih menyukai pengajaran-pengajaran praktis dan berbau supranatural. Situasi dan kondisi zaman ini telah merubah paradigma kekristenan (Kebenaran merupakan suatu pewahyuan dan diberikan kepada gereja) dengan paradigma baru yang bersifat relatif (kebenaran bergantung kepada setiap pribadi dan kelompok masyarakat). Katekisasi dalam gereja hanya merupakan pra-syarat untuk mendapatkan surat legal (surat baptisan atau sidi) untuk kepentingan pribadi dan bukan bertujuan untuk mempersiapkan dan membimbing generasi muda untuk melayani di dalam gereja.(10)
Sebagai sebuah refleksi: Umumnya dalam setahun gereja-gereja Kristen membuka 2 kali kelas katekisasi.(11) Berapa banyak jemaat yang setiap tahun ikut katekisasi (baik baptisan atau sidi) yang aktif bergereja? Berapa banyak jemaat setelah mengikuti kelas katekisasi, berkomitmen untuk mengikuti pembinaan-pembinaan yang diadakan di gereja? Berapa banyak jemaat setelah mengikuti kelas katekisasi berkomitmen untuk melayani Tuhan? Jikalau semuanya ini berjalan dengan baik, maka: pertama, gereja tidak akan mengalami ”krisis” untuk mencari generasi muda dalam melanjutkan estafet pelayanan gerejawi; kedua, kerohanian jemaat tidak akan mudah diombang-ambingkan oleh berbagai ”angin” pengajaran yang menyimpang dari Alkitab. Namun faktanya tidaklah demikian.
Pada masa kini gereja mengalami ujian berat untuk dapat mempertahankan jemaat dengan pengajaran yang murni dan alkitabiah ataukah membiarkan jemaat ”ikut arus” dunia ini dengan segala pengajarannya yang menuju kepada pemuasan hati dan pelampiasan emosi sesaat yang ditampilkan dengan berbagai model gaya hidup yang pada akhirnya membuat mereka kehilangan iman dan pengharapannya. Para rohaniawan ditantang untuk ikut berlomba ”menyelamatkan”(12) (membawa kembali) jemaat-jemaat yang terhilang akibat pengaruh ”arus” zaman ini. Mereka harus dibawa kembali kepada Yesus Kristus sang pemilik jiwanya. Inilah tugas yang dipercayakan oleh Dia, Yesus Kristus kepada para hamba-hamba-Nya.
Gereja harus dapat mengajarkan kebenaran-kebenaran dasar iman Kristen secara tepat dan benar kepada jemaat. Gereja dapat menggunakan berbagai metode dan bahasa yang lebih sederhana untuk mengajar jemaat dengan benar, tanpa merubah isi pengajaran doktrinalnya. Tujuan akhir daripada pengajaran ini adalah memahami iman kristen secara benar.
KESIMPULAN
Gereja yang sehat dan dinamis adalah gereja yang memperhatikan aspek pengajarannya. Hal ini tidak berarti membiarkan pelayanan yang lain (maksudnya adalah keseimbangan pelayanan-pelayanan yang lain dengan pelayanan pengajaran). Pengajaran Alkitab yang benar menjadi fondasi yang kuat bagi pelayanan gereja dan pertumbuhan kerohanian jemaat. Jemaat harus di dorong untuk mengikuti kelas-kelas katekisasi dan pembinaan-pembinaan lainnya. Jemaat yang terlibat pelayanan harus mengerti dasar-dasar kehidupan iman yang benar melalui pengajaran katekisasi atau kelas-kelas pembinaan, tujuannya agar (1) pelayanannya murni hanya kepada Tuhan (dengan kata lain tidak ikut-ikutan); (2) ia bertumbuh di dalam iman; (3) ia tidak mudah terombang-ambing oleh berbagai pengajaran duniawi yang menyesatkan; (4) mampu memberi jawaban bagi mereka yang meminta pertanggungan jawab imannya sesuai dengan kebenaran di dalam Kristus.
James Montgomory Boice menuliskan: tidak peduli seberapa dahsyat pengalaman kita, tidak peduli seberapa dalam kita paham tentang Allah, yang pasti adalah kita tidak dapat memahami apa yang Allah telah katakan, kecuali melalui wahyu yang didasarkan kepada Alkitab.(13) Biarlah kebenaran ini menjadi pendorong semangat bagi setiap hamba-hamba-Nya yang terpanggil untuk melayani Dia, Sang Kepala Gereja, Tuhan Yesus Kristus. •
Footnotes
01/ Gereja-gereja yang melakukan pelayanan katekisasi adalah gereja-gereja yang tergabung di dalam arus utama tradisi Protestan, seperti dari aliran Lutheran dan Calvinis / gereja Reformasi. Sedangkan gereja-gereja aliran baru, seperti gerakan Pentakosta dan Karismatik tidak mengenal katekisasi.
02/ Definisi katekisasi dirumuskan sebagai berikut: A Catechisms is a popular manual of instruction (Gr. Katecheo, to instruct) in Christian beliefs, normally in question and answer form. Dikutip dari: Walter A. Elwell, (Edit.), Evangelical Dictionary of Theology. Second edition, Michigan: Baker Academics, 2001. p. 211.
03/ Martin I Klauber, Confessions, Creeds, and Catechisms in Swiss Reformed Theology (1675-1734), In Westminster Theological Journal, Vol. 57:2 (Fall:1995), p. 403. to quote John Leight, writes: It [catechism] was not initially used solely for the young person preparing for confirmation, but for all believers in order to teach them the basics of the Christian faith.
04/ DR. J.L. CH. Abineno, Sekitar Katekese Gerejawi: Pedoman Guru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), hal. 1-4.
05/ Abineno, Sekitar katekese, hal. 22, menjelaskan demikian: Dari uraian di atas, nyata bahwa yang paling penting dalam katekese ini ialah: membimbing anggota-anggota jemaat khususnya anggota-anggota jemaat yang masih muda ke dalam perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan Allah, seperti yang kita baca dalam PL dan PB. Maksudnya ialah supaya mereka belajar untuk hidup bersama-sama dengan Allah ini di bawah pimpinan Roh Kudus dan di dalam persekutuan Yesus Kristus, Anak-Nya. Dengan jalan demikian mereka sebagai anggota-anggota dari Gereja Tuhan dipersiapkan (=diperlengkapi) untuk tugas kesaksian dan pelayanan mereka di dalam dunia.
06/ Ibid, hal. 85.
07/ G. Riemer, Pedoman Ilmu katekese: Ajarlah Mereka, (Jakarta: Yayasan Bina Kasih / OMF, 1998), 43-44.
08/ Ibid, hal. 53-55.
09/ Sola Scriptura berarti hanya Alkitablah satu-satunya sumber pengajaran moral; Sola Fide berarti hanya oleh imanlah manusia dapat diselamatkan; Sola Gratia berarti hanya oleh anugerah Tuhanlah manusia dimungkinkan untuk selamat.
10/ Arguably, many churches have failed to do a creditable job of educating their children, young people and adults in basic Christianity. Hand in hand with the study of scripture, a catechism may prove, once again, to be an effective instrument for passing on “the faith that was once for all entrusted to the saints (Jude1:3). Dikutip dari The New Presbyterian Catechism, p. 1.
11/ Dalam gereja tertentu kelas katekisasi dibuka 1 kali selama 1 tahun proses katekisasi berlangsung.
12/ Istilah “menyelamatkan” tidak dimaksudkan sebagai proses keselamatan dari yang tidak percaya (=masih hidup dalam dosa / belum bertobat) menjadi percaya kepada Yesus Kristus. Penulis percaya bahwa proses keselamatan itu dikerjakan oleh Allah, melalui Roh Kudus (Bnd. Ef. 2:8-9). Yang dimaksudkan “menyelamatkan” adalah membimbing kembali jemaat kepada pengajaran yang benar di dalam Kristus.
13/ Rev. Bryn McPhill, The Reformed Theology Source, Version 4.0. Edifying Quotations, p. 3292. http://www.reformedtheology.ca.